TEMPO.CO, Jakarta - Namanya Dewi Ivo. Sebagai sosialita, tampil jelita sudah menjadi kewajiban. Ketika menemui Tempo di apartemennya di kawasan Senopati, Jakarta Selatan. Dewi Ivo tampil berkelas dengan make up tipis dan rambut diblow rapi, serta blazer kain ikat yang dipadu celana denim.
Tapi jangan terkecoh, penampilan cantiknya ini baru satu sisi diri Dewi. “Dewi ini mau turun ke perkampungan pemulung dengan sandal jepit,” kata Ina Madjihan, rekan Dewi yang juga merupakan penggagas Gerakan Berbagi, Jumat, 19 April 2013.
Dewi bergabung dengan Gerakan Berbagi sudah 1,5 tahun yang lalu. Lewat foto kegiatan dokumentasi Gerakan Berbagi, Dewi memang tampil jauh berbeda. Dengan kaos T-shirt dan rambut dikuncir ke belakang, ia tampak sederhana. “Ya seperti bunglon, kita harus menyesuaikan diri di dunia yang berbeda,” kata Dewi.
Sebelum bergabung dengan Gerakan Berbagi, Dewi, perempuan 36 tahun ini memang kerap menyalurkan aksi sosialnya secara individual, lewat ajakan temannya. Sejak tahun 2008 misalnya, ia kerap melakukan kunjungan ke anak jalanan dan rumah sakit, memberikan bantuan untuk penderita kurang gizi, tumor, hingga anak tanpa lubang anus. “Hari pertama-kedua, saya menangis sesenggukan sampai harus keluar ruangan karena nggak tega melihatnya,” kata Dewi menceritakan salah satu pengalamannya.
Awal mula Dewi bergabung dengan Gerakan Berbagi lantaran ajakan Ina, teman semasa kuliahnya. Ina mengajak Dewi ikut menyumbang dalam kegiatan Gerakan Berbagi, yaitu aksi rutin tiap Jumat menyumbang nasi bungkus untuk anak yatim dan anak terlantar, juga pengadaan sepeda untuk distribusi bantuan korban bencana Mentawai. Merasa sejalan dengan Gerakan Berbagi yang memiliki program kerja yang jelas, Dewi akhirnya bergabung sebagai Penasehat ketika gerakan ini akhirnya berbadan hukum.
Gerakan Berbagi memiliki kegiatan yang terbagi dalam empat fokus, yakni pendidikan, kesehatan, pangan, dan tanggap darurat. Kegiatannya bermacam-macam, seperti memberi beasiswa pendidikan, bantuan untuk pasien tak mampu, pendampingan dan edukasi pada pasien dan penderita kanker, hingga menanggung biaya check up rutin 70 donor aferensis yang dinaunginya.
Adapun kegiatan rutin memberikan nasi bungkus tiap hari Jumat sampai kini masih dijadikan tradisi dan dinamakan Jumat Berbagi. Selengkapnya baca Gemerlapnya Dunia Sosialita.
Ulasan :
Manusia berpandangan bahwa orang dengan rezeki lebih biasanya hidup mewah dan sombong. Pandangan tersebut sepertinya ditujukan pada soialita orang Indonesia. Padahal, sosialita di luar negeri kebanyakan, lebih tertuju pada pendidikan, charity/donasi acara baksos.
Lain lagi dengan Dewi Ivo, wanita cantik yang tidak malu-malu turun ke tempat-tempat kumuh untuk memberikan santunan. Dalam hal ini saya tidak mengatakan bahwa tidak ada sosialita yang tidak peduli dengan kaum menengah kebawah, tetapi ada beberapa soialita yang masih peduli dengan kaum-kaum ini. Oleh karena itu, ubahlah pandangan kita mengenai sosialita yang tidak peduli dengan kaum bawah. Like people say, "Don't judge a book by its cover".
Sumber :
http://www.tempo.co/read/news/2013/04/28/219476349/Sosialita-yang-Bergaul-dengan-Pemulung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar