Senin, 13 Mei 2013

Kegelisahan Warga Sidoarjo


Sindonews.com - Nasib warga korban lumpur Lapindo yang terdampak langsung di Sidoarjo, Jawa Timur sungguh tertekan. Tidak hanya memikirkan sisa gantirugi dari Lapindo, mereka juga dipastikan akan kehilangan hak suara dalam Pemilu 2014 mendatang.

Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum KPU Sidoarjo, tercatat ada lebih dari 66 ribu warga korban lumpur yanag akan kehilangan hak suara karena kesulitan mendata kembali korban lumpur Lapindo yang sudah tersebar dibeberapa wilayah.

Ketua KPU Sidoarjo Bhima Ariesdiyanto menegaskan, lebih dari 66 ribu warga korban lumpur lapindo asal 11 desa di kecamatan Porong, Tanggulangin, dan Jabon dipastikan akan kehilangan hak suara dalam Pemilihan Umum 2014 dan Pilgub Jatim Agustus 2013 mendatang.

"KPU Sidoarjoko kesulitan melakukan verifikasi dan administrasi mereka. Padahal hasil verifikasi warga korban lumpur tersebut diperlukan untuk daftar pemilih pemilu 2014 mendatang," katan Bhima di kantornya, Rabu (13/3/2013).

Menurut data di KPU Sidoarjo, jumlah warga di sebelas desa areal berdampak lumpur Lapindo, saat Pemilu 2009 lalu mencapai 66.349 orang. Mereka berada di tiga wilayah kecamatan, masing-masing Kecamatan Porong, Tanggulangin, dan Jabon.

Tahun ini ternyata jumlah warga di sebelas desa areal terdampak lumpur Lapindo tidak terlalu berbeda dengan tahun 2009. Padahal sebagian besar warga sudah pindah tempat tinggal di desa atau kecamatan lain.

"Warga korban lapindo tidak mungkin kembali ke desanya karena wilayah mereka hilang ditenggelamkan lumpur. Celakanya data kependudukan mereka masih tercatat di wilayah yang sudah dilenyapkan lumpur itu," katanya.

Seharusnya secara adminstratif faktual, warga korban lumpur yang pindah tempat tinggal sudah tercatat sebagai penduduk di wilayah barunya. Kondisi ini kemudian menimbulkan persoalan KPU dalam menetapkan daftar pemilih tetap.


Ulasan :
Mulai 16 April tahun lalu, lebih dari 2.000 orang secara bergantian memblokade tanggul lumpur di titik 25, Porong, Sidoarjo. Meski terhitung menjadi korban pertama yang terusir dari kampung halaman sejak 2006, hingga kini proses ganti ruginya belum tuntas. Padahal, proses ganti rugi kepada rekan-rekan mereka yang kampungnya tenggelam belakangan malah sudah banyak yang beres. Namun sekarang, lumpur sudah hampir mencapai batas tanggul yang dibuat. Hal ini tentu saja menimbulkan keresahan bagi warga sekitar dan juga warga Indonesia. Sampai sekarang masalah lumpur ini belum terselesaikan walau sudah terjadi selama lebih kurang 6 tahun.

Apakah yang harus kita lakukan? Akankah pulau Jawa kita akan tenggelam? Kita berharap akan mendapat pemimpin yang mampu mengatasi permasalahan ini kedepannya. Dan dengan adanya lumpur ini, semoga menjadi berkah dan pelajaran bagi negara kita. Mungkin suatu saat ada manfaat yang bisa dihasilkan dari lumpur yang diolah oleh bangsa kita.

Sumber :
http://daerah.sindonews.com/read/2013/03/13/28/726724/66-ribu-korban-lumpur-lapindo-kehilangan-hak-suara

Rabu, 08 Mei 2013

Razia

JAKARTA, KOMPAS.com — Ratusan personel Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) melakukan razia terhadap para pedagang kaki lima dan gelandangan di kawasan Monumen Nasional (Monas). Sebanyak 40 gerobak PKL dan 17 orang gelandangan terjaring dalam razia ini.
Razia ini dilakukan pada Rabu (8/5/2013) mulai pukul 10.30 dengan melibatkan 250 personel Satpol PP dengan sembilan truk besar dan dibantu aparat kepolisian dan TNI. Razia bertujuan menciptakan rasa nyaman dan aman bagi pengunjung Monas, sekaligus memperindah kota tanpa adanya PKL dan gelandangan yang kerap bermalam di Monas.
Penolakan oleh para pedagang terjadi saat petugas Satpol PP mulai melakukan razia di dalam kawasan Monas. Satpol PP mengangkut gerobak-gerobak dan sejumlah alat-alat untuk berdagang. Tak terima dengan tindakan yang dilakukan petugas, sejumlah pedagang sempat mengajukan protes, tetapi dapat dilerai oleh petugas kepolisian dan TNI yang berada di Monas.
Kepala Satpol PP Jakarta Pusat Yadi Rusmayadi mengatakan, razia dilakukan untuk menindaklanjuti banyaknya pengaduan masyarakat tentang keberadaan pedagang serta gelandangan yang masih berkeliaran di kawasan Monas. "Sebelumnya, kami sudah melakukan tindak persuasif sebelum razia ini," ujar Yadi, Rabu.
Razia ini dimulai dari pembongkaran lapak-lapak PKL di kawasan IRTI. Para gelandangan yang terjaring razia akan diserahkan ke panti sosial untuk mendapat pembinaan. Sementara itu, puluhan gerobak akan ditaruh di gudang di Cakung, Jakarta Timur.

Ulasan :
Kota dan tempat wisata akan terasa indah apabila dirawat dengan baik. Khususnya Jakarta, kota ini ibukota Indonesia yang menjadi ikon negara kita sendiri. Di Jakarta, kita mempunyai Monas (Monumen Nasional) yang berdiri tinggi dan kokoh. Namun, apakah indah jika tempat wisata ini terdapat banyak gelandangan dan Pedagan Kaki Lima (PKL)? Bagaimana bisa petugas pemerintah lengah dalam hal ini? Dimana letak tanggung jawab pemerintah?? Padahal, Monas merupakan ikon Jakarta yang, setidaknya, pernah dikunjungi wisatawan asing. Hal ini tentu memunculkan komentar negatif terhadap negara kita.

Maraknya gelandangan dan PKL pun tidak terlepas dari kesalahan pemerintah. Minimnya ekonomi dan pendidikan menjadi faktor utamanya. Alangkah baiknya jika Menko Kesra menyediakan tempat khusus berjualan bagi para PKLdengan biaya yang murah dan tempat yang tertata dengan baik. Adapun saran dari saya, agar ketika para gelandangan di razia, setelah itu diberi tempat tinggal yang layak dan diberi pekerjaan yang mampu mereka kerjakan.

Sumber :
http://megapolitan.kompas.com/read/2013/05/08/22544187/Puluhan.PKL.dan.Gelandangan.Terjaring.Razia.di.Monas